Menghadapi 'Tough Love' Dari Diri Sendiri


"kecemasanmu ibarat time bomb, walau di suatu waktu tidak terlihat, akan ada masanya kamu meledak karena terlalu cemas" -my psychologist 

Ini cerita gue dua tahun lalu...

Dua tahun lalu, gue adalah orang yang selalu mencoba terlihat positif. Orang yang mengetahui gue bisa selalu bilang kalau gue orang yang ceria, easy-going, dan sejenisnya.

Tapi di balik itu semua, gue  menatar dan memaksa diri sendiri tanpa ampun. Ambisi dan citra selalu nomor satu, sehingga apa yang di dalam diri gak pernah diurus. Kerja, belajar, dandan, improve, harus berkembang, GAK BOLEH BANYAK ISTIRAHAT. Lari cepet-cepet sampe garis finish, kalo perlu garis finish-nya dilewatin sampe jauh, puter balik lagi biar bisa finish dua kali.

Dua tahun lalu, gak ada yang benci gue selain gue. Setiap ngaca, apa yang gue lihat cuma bekas jerawat dan kegemukan gue yang bikin gue jelek. Setiap liat karya sendiri -- baik tulisan, gambar, nyanyian -- yang gue liat cuma gimana falsnya suara gue, jeleknya pemilihan kata gue, gambar yang gak pernah bagus, dan lainnya.

Gue orang yang sangat memilih pertemanan, biar gue gak lagi terlibat dalam pertemanan toxic. Tapi nyatanya, gue adalah racun buat diri sendiri...

Tentu gue begini karena gue sayang sama diri gue, gue mau seorang 'Maira' bisa mencapai puncak tertinggi yang diidam-idamkan.  Gue yang meracuni diri sendiri melabeli apa yang gue lakukan sebagai 'tough love', yaitu memperlakukan sesuatu/seseorang secara keras dengan maksud untuk membantu berkembang dalam jangka panjang.

Ini berarti gue akan mencambuk batin gue habis-habisan dengan harapan gue akan sukses ke depannya.

Ya pada akhirnya, gue yang melakukan tough love kemudian gak sadar bahwa gue sedang menanamkan kecemasan ke diri sendiri, yang akhirnya meledak membakar. Tahap burnt out gue mempengaruhi segala aspek kehidupan gue secara negatif; mulai dari kerjaan (yang bikin gue harus resign), kuliah, hobi, sampe ke hubungan dengan orang-orang terdekat. Hampir semuanya terasa berjatuhan bak susunan istana kartu, mau gak mau harus gue susun lagi dari nol.

*****

Butuh kurang lebih setahun untuk gue menyadari bahwa definisi gue dan cara pengaplikasian tough love ke diri sendiri begitu salah. Di waktu yang tepat, tough love mungkin berguna, tapi takarannya harus diperhatikan. Kira-kira dari pengalaman gue yang sudah banyak konsultasi dan baca beberapa buku yang membantu gue melewati fase ini, inilah yang bisa gue bagikan:

1. Istirahat itu Gak Dosa!
My 30 Uplifting Illustrations To Help You Focus On Self Love
boredpanda.com

Dua tahun lalu setiap gue punya waktu beristirahat dari kesibukan, otak gue langsung mencaci maki gue dan memaksa gue untuk produktif. Kalo weekend, bawaannya dosa banget mau nonton Netflix kalo  belum produktif gambar/main musik/makeup. Ini tough love yang salah! Karena lo gak bisa sekejam itu memaksa badan capek lo yang lima hari kerja untuk bekerja lagi! Suatu hobi sudah seharusnya menjadi rekreasi, bukan tekanan.

Alternatif tough love yang kemudian gue lakukan untuk sikap gue yang seperti ini adalah perencanaan. Iya, gue masih berfikir bahwa gue harus tetep produktif dengan hobi gue. Jadi di awal minggu, gue akan mencatat hari Sabtu & Minggu gue mau ngapain aja berdasarkan workload yang akan gue hadapi di minggu ini. Misalnya, kalau minggu ini gue gak sibuk-sibuk banget, gue akan alokasikan 4-5 jam di hari Sabtu dan 2 jam di hari Minggu untuk melakukan hobi gue, serta 2 jam di hari Minggu untuk beres-beres kamar. Sisanya untuk gue istirahat nonton film (kadang filmnya juga gue jadwalin mau nonton apa haha). Kalau memang di weekdays gue bakal capek dan sibuk banget, yaudah waktu istirahatnya gue perpanjang, waktu buat hobinya gue bikin sebentar ATAU gue ubah jadi pasif kayak misalnya nonton video tutorial makeup atau video belajar main gitar, dll. Dengan begini, otak dan hati gue udah gak ribut-ribut lagi karena rencananya sudah jelas dan istirahat gue pun jadi lebih tenang.

2. Apresiasi Diri Sendiri 
I BELIEVE IN YOU. Self care illustration by Tink outside the box | Illustration by Octavia Bromell. self love, believe in yourself, back yourself

Dalam dua tahun, gue gak kasih banyak apresiasi ke diri sendiri. Saking sibuknya, gue sampe gak ngasih waktu untuk traveling setidaknya ke luar Jabodetabek. Bener-bener dipaksa sampai mesin gue rusak, karena gue selalu ngerasa gue belum kerja cukup keras untuk dapetin apresiasi. Berangsur-angsur akhirnya mindset ini gue ubah.

Mau lo gagal ato berhasil, yang harus diapresiasi adalah usaha keras lo, bukan output-nya. Gue mencoba untuk mengapresiasi diri gue dengan menulis jurnal yang isinya hal-hal keren yang udah gue lakuin dalam seminggu. Sumpah, gak harus sekeren "menyelamatkan ibu lansia dari begal", mulai dari hal kecil;  "milih makan siang sayuran dibanding beli McD", "berhasil ngerjain deadline yang susah", "bikin jokes yang bikin temen-temen ketawa". Hal kecil banget yang kemudian saat lo liat di akhir hari, lo bakal bangga sama diri lo, walaupun SEKECIL ITU.

Setelah baca daftar kekerenan gue ini, gue akan bercermin dan bilang ke cermin "lo keren banget pokoknya dah" abis itu nraktir diri sendiri es milo dinosaurus karena sudah berusaha. Sumpah ini kedengeran aneh banget tapi sikap yang aneh ini berhasil bikin gue makin sayang sama diri sendiri dengan segala keanehannya.

Kalo emang seminggu lo BENER-BENER ENGGAK ADA hal keren terkecil yang bisa lo lakukan. Ya udah, kembali bercermin, dan bilang "minggu ini lo belom keren, tapi lo masi okeee" abisitu traktir diri sendiri Pop Ice coklat atau apa kek, karena again, lo udah berusaha. Itu yang harus diapresiasi.

3. SHOPPING BUKAN SOLUSI!
Shopping by Yuliia Dobrokhod for Fireart Studio on Dribbble

Saat di ambang tekanan, ada istilah terkenal namanya retail therapy, dimana lo akan belanja banyak untuk menghilangkan rasa tertekan. Gue dulu kayak gini, enaknya sementara, tapi gak ngilangin rasa tertekannya. Akhirnya duit gue terus-terusan abis karena dalih retail therapy. Duit abis, banyak barang yang gak dibutuhin, tapi masih benci sama diri sendiri. Siklusnya gitu aja.

Saat ada hasrat belanja saat lo lagi tertekan, TAHAN. Nah di sinilah tough love berguna. Lo harus melampiaskan 'kejahatan' lo sama diri sendiri ke hasrat konsumtif lo. Di sini gue pake two days rule. Kalo gue mau beli sesuatu, gue akan tunggu dua hari kemudian. Kalau hasrat belinya udah ilang, ya gue gak usah beli. Tapi kalo masih ada, berarti kayaknya gue butuh. Kasar sedikit sama jiwa konsumerisme lo. Sedikit demi sedikit, lo akan terbiasa untuk gak belanja-belanja gaje.

4. Lo Punya Aib? Coba Dirangkul!

Gue dua tahun lalu ngeliat diri sendiri kayak aib berjalan; badan gak fit, muka jerawatan, kegemukan, rambut rontok botak, udah gitu aib yang gak keliatan juga banyak banget. Tiap ada yang bilang gue cantik, gue ngerasa itu sarkas dan gue malah kesel. Kenapa begini? Soalnya gue fokus ke aib-aib dan kekurangan gue sehingga gue buta banget sama kelebihan sendiri.

Alternatif tough love yang gue lakukan untuk mengatasi ini adalah bukan nunjukin kelebihan gue, malah justru gue paksa diri untuk nunjukin semua kekurangan gue. Saat gue tiba-tiba di-callout saama kawan SMP sebagai anak cupu kerap di-bully, ya gue pakai label 'anak cupu yang terbuli' dengan bangga. Gue upload foto gue jaman SMP untuk nunjukin seberapa jelek gue dulu. Gue jerawatan? Emang, ya gue foto-foto #nofilter nunjukin bekas jerawat gue. Gue 'bikin malu' diri sendiri depan umum, biar apa? Biar aib gue gak dipake untuk menjatuhkan gue...

Gue pernah baca buku Haemin Sunim, dia bilang di bukunya bahwa "unfortunate person is one who looks other people and sees only their flaws. Saat gue baca ini gue pun tersadar, orang yang bawa-bawa kejelekan gue justru adalah orang yang unfortunate, bukan gue. Bukan salah gue kalo gue cupu, jerawatan, ato apapun. Salah mereka, kenapa mereka liatnya itu doang?

Gue pakai mindset ini sampai akhirnya gue mulai secure sama diri gue (walau belum sempurna banget). Gue yang tadinya cuma mau dipandang orang sebagai music snob yang punya selera tinggi dalam mendengar musik, sekarang gak peduli banget dan bisa sing along denger lagu dangdut tanpa malu. Iya gue suka banget Frank Sinatra, tapi tiap kerja kadang gue dengerin lagu 'Secawan Madu' sambil joget-joget. Gue juga walau suka film-film keren, gue tetep nonton Naruto dan hapal nama-nama desanya, iya gue wibu Narutard. Bukan aib sama sekali sekarang.

5. Citra yang Sebenernya Ada di Dalam Diri
Stretching by Ksenia Shokorova

Ini yang masih gue pelajari sampe sekarang. Di buku yang gue baca, disebutkan kalau sebenarnya orang-orang itu gak sebegitu pedulinya sama lo. Dalam artian bahwa saat mereka komentar macem-macem tentang lo, itu gak berarti mereka mendedikasikan sekian waktunya untuk mempedulikan elo, bisa jadi mereka komentar untuk memuaskan diri mereka sendiri. Intinya, people don't care as much as you think they do.

Ini penting buat kita ketahui apalagi buat kita-kita yang selalu berusaha bangun citra cantik depan orang dan media sosial, berusaha keras-keras demi nunjukin keberhasilan lo ke orang yang ngeremehin lo dahulu kala. Walau mungkin gak salah-salah banget, tapi bila kita terlalu fokus ke sini justru membahayakan diri kita sendiri.

Gue saat itu terlalu fokus untuk terlihat perfect depan orang terutama depan keluarga dan orang-orang yang nganggap gue lemah. Karena terbakar dendam ini, gue jadi gak mau unggah foto jelek, gambar jelek, ato nyanyian gue yang gak bagus. Gue juga gak mau kelihatan gak bertalenta. Gue selalu mau sombong sama segala hal yang gue punya dan dapatkan. Tapi sumpah, saat gue tahu bahwa orang gak sepeduli itu sama kita, gue juga mikir, "ngapain gue gini-gini banget demi diliat orang lain?"

Rasanya kayak lo udah capek-capek jadi orang sukses buat bales dendam sama orang yang jahat sama lo 10 tahun lalu, tapi orangnya kagak inget elo siapa. Ya males gak sih?

Terus siapa yang paling peduli sama lo? ya diri lo sendiri. Sesayang-sayangnya orang lain sama lo, faktanya lo lebih sering mikirin diri lo sendiri dibandingkan orang lain bisa mikirin lo. Jadi yang harusnya lo pikirin justru bukan apa yang dilihat orang, tapi apa yang lo mau lihat di diri lo. Makanya penting untuk kita menyendiri dan menyelam lebih dalam ke batin sendiri, apa sih yang salah di dalem diri gue? Apa yang harus gue tanam? Apa yang harus gue jaga? Saat lo sudah tahu, coba bangun diri lo sesuai yang lo butuhkan. Niscaya ya, citra yang lo bangun di dalam diri bakal memancar ke luar tanpa lo harus bangun capek-capek citra di luar. Gimana cara mengetahuinya? Banyak, mungkin lo harus meditasi, atau mindfulness, atau berdoa. Gue mencoba semuanya ditambah rajin-rajin sholat. Lama-lama semua terasa jelas aja.

Instagram feed lo gak harus selalu rapi, gambar lo gak harus selalu bagus, karya lo gak harus di-like banyak orang. Kalo lo peduli sama diri lo sendiri, jangan jadikan hal-hal eksternal jadi penghalang lo untuk mencoba dan berkembang.

*****

Tentu masih banyak hal-hal yang gue pelajari sekian lama ini yang gue gak tulis. Tapi dengan mengubah kebiasaan tough love gue yang terlalu tough, gue pelan-pelan bisa sayang sama diri gue, sudah jarang ada tawuran batin antara kubu otak dan kubu hati.

Sekarang gue juga gak bersih dari semua itu juga, kadang ada momen dimana muncul lagi kelakuan tough love-nya, tapi gue belajar memaafkan diri gue dan berharap ini semua bakal berakhir dengan baik. Intinya sih berusaha terus, output-nya urusan nanti. Kalian yang sedang ngerasain hal yang sama, selamat berjuang! Nih Milo dinosaurus buatmu.

Milo Dinosaurus – Malaya

Comments

Popular Posts