Skincare-Shaming: Saat Skincare Dinilai dari Prestisenya

pinterest.com

Dalam satu dekade belakangan, penggunaan skincare di dunia jadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Analisa industri kecantikan juga menunjukkan grafik ukuran pasar skincare selalu meningkat setiap tahunnya. Di tahun 2018, ukuran pasar skincare sudah senilai 134,8 miliar Dollar Amerika dan akan diproyeksikan membesar terus hingga tahun 2025.* Jelas, menggunakan skincare kini jadi keperluan mendasar bagi sebagian besar orang, termasuk gue.

Tapi dengan berkembangnya tren memakai skincare, muncul juga nuansa kultural yang gue lihat berkembang bersama tren ini. Bila melihat sekeliling, gue melihat orang-orang reseptif terhadap skincare bukan lagi dari kemampuan produk tersebut, melainkan dari prestise produk itu. Sehingga kemudian ada bentuk rundungan baru dari tindakan ini: skincare-shaming

Beberapa contoh dari yang skincare-shaming yang gue maksud:
Contoh 1

contoh 2


Contoh 3

Gue masih belum melihat tipe-tipe lain dari skincare-shaming. Tapi dari apa yang marak gue saksikan, skincare-shaming ini adalah sejenis fenomena di mana seseorang dirundung atas pilihan skincare-nya yang mungkin di bawah harga rata-rata, atau mungkin datang dari merk yang tidak begitu terkenal.

Benar adanya, bahwa konteks terkadang juga berpengaruh. Seperti gambar 1 contohnya, konteksnya sebenarnya datang dari cuplikan Tiktok seseorang yang menunjukkan keuntungan yang dia dapat karena menikah muda (yang mana topik yang cukup kontroversial) dan salah satu keuntungannya adalah bisa dibeliin skincare gratis sama suaminya. Netizen, seperti biasa, datang untuk sambat ke post itu karena tidak setuju akan nikah muda. Tapi lucunya, banyak replies justru mengomentari betapa murahnya skincare yang dibeliin sehingga gak layak banget kalau harus menikah muda cuma demi dibeliin 'Vaseline'. Oke.

Fenomena kecil ini buat gue berfikir, apakah sekarang sebenarnya pakai skincare itu gak dilihat dari tujuan dia diciptakan lagi (bikin kulit glowing), tapi justru dari ide-ide yang menempel di produknya (dari merknya, ambassador-nya, harganya, dll)?


Saat mengetahui fenomena skincare-shaming ini, gue yakin bahwa ini salah satu dari bentuk konsumerisme. Gue mengindikasi bahwa sekarang skincare bukan dibeli karena keperluan, melainkan semata-mata untuk kebanggaan dan kepuasan diri yang konsumeristik.

Kenapa begitu?

Gue akan mulai dengan penjelasan singkat mengenai konsep konsumerisme. Konsumerisme bisa didefinisikan sebagai peristiwa sosioekonomi yang mendorong keinginan seseorang untuk memiliki barang dan jasa di luar dari keperluannya. Menurut Semmler & Bobby, biasanya ini terjadi karena dua hal: (1) Ada daya beli, basically karena seseorang punya uang lebih untuk beli; dan (2) adanya sifat materialisme, secara singkat sikap yang membuat seseorang melihat suatu 'barang' sebagai tolak ukur kebahagiaan. Hal ini akan membuat orang membeli berbagai hal dengan harapan hal itu dapat memberi simbol 'hidup yang baik'

Karena nuansa kultural ini juga, gue ingat tulisan salah satu filsuf-slash-sosiolog yang sering gue kutip kata-katanya, Jean Baudrillard. Di bukunya yang berjudul 'Consumer Society', Beliau menyebutkan bahwa di jaman kayak gini, memiliki kemakmuran dan kebahagiaan itu berarti kita lebih sering dikelilingi oleh objek dibandingkan dengan manusia lainnya. Bahkan sehari-harinya, manusia lebih sering berurusan dengan manipulasi objek dan pesan yang menempel di sana. Pesan yang ada di objek itulah yang menghantarkan orang-orang kepada hasrat untuk membeli.

Dalam konteks skincare, orang-orang kini melihat sebagian merk skincare menjadi komoditi yang gak hanya membuat kulit kita bagus, tapi juga memberikan kepuasan diri saat kita membelinya. Hal ini yang kemudian bikin merk skincare seperti SK-II, COSRX, Clinique, dan merk mahal lainnya malah justru bukan hanya dilihat dari kemampuannya dan kecocokannya sama kulit, namun juga dari simbolik prestise yang menempel padanya.

Tanpa kita sadari, demi mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan itu, kita akan membeli sebanyak mungkin skincare merk-merk yang sudah dianggap high-end agar bisa mengikuti apa yang tren minta. Hasrat untuk memiliki dan dikelilingi objek seperti skincare buat kita sangat konsumtif, dengan harapan kita bisa bahagia karena memiliki itu semua.

Tanpa kita sadari juga, strata sosial kita didefinisikan dengan skincare apa yang kita pakai. Sehingga kalau gue (misalnya) upload foto skincare yang gue pakai dari merk dengan harga murah, gue akan dilabel sebagai orang dengan strata sosial rendah, tanpa mungkin berfikir bahwa gue sebenarnya cocok dengan skincare murah yang gue pakai sehingga gue gak ada keperluan untuk beli lebih banyak atau lebih mahal.

Ada satu hal yang juga dalam persoalan skincare-shaming ini yang harus kita serap dalam-dalam: bahwa tidak semua orang punya daya beli dan privilese yang sama. Banyak orang yang hanya bisa beli skincare yang bukan dari merk mewah. Kalau skincare yang tidak mewah itu sudah cukup untuknya, kita gak punya hak untuk merundung. Bagaimanapun topiknya, gue akan selalu minta orang untuk check your privilege. 

Menurut gue, skincare bukan seharusnya menjadi ladang perang kelas sosial, apalagi jadi penutup mata hati kita untuk cek privilese diri sendiri. Yang skincare-nya memang dari merk mahal, bersyukurlah dan semoga cocok di kulit. Yang skincare-nya memang bukan dari merk mahal, gak apa-apa juga karena yang penting cocok. 

Penting juga untuk kita ingat bahwa kita gak bisa mendefinisikan diri kita dan kebahagiaan kita dari objek-objek yang kita punya. Kebahagiaan, menurut Baudrillard juga, tidak butuh bukti nyata. Semoga dari sini, kita bisa belajar untuk tidak membeli berbagai macam skincare untuk memberi makan sifat materialisme di dalam diri.


*Grand View Research Report on Beauty Brand

Comments

  1. Keren banget sih ini artikelnya, dan bermanfaat

    ReplyDelete
  2. Sesama korban tenggelam di lautan objek, dilarang saling menghina :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts