Seni Kerinduan

pinterest.com

 Jikalau buku tahunan SDku masih ada di tangan, ingin sekali kuabadikan kolom biodataku. Bocah culun itu menuliskan di biodatanya bahwa cita-citanya ingin menjadi "Seniman yang sukses", cita-cita jujur dari seorang anak yang sejak TK sudah diakui bakat keseniannya oleh lingkungan sekitar.

Bocah ini juga seringkali membayangkan dirinya di masa depan berada di ruangan dengan kanvas penuh dengan goresan cat yang cantik nan berwarna. Dengan topi baret merah dan rambut coklatnya tergerai, ia fokus melukiskan detail-detail di kanvasnya sampai jadilah sebuah art piece yang konon bisa dijual ratusan juta rupiah. Duh, dek. Imajinasimu cheesy abis ya...

Halo, Maira kecil. Maira besar di sini, apa kondisiku sekarang mengecewakan cita-citamu? Aku gak mewarnai kanvas dengan cat, aku mengetik email dan seringkali membuat PPT. Aku gak diundang ke pameran seni, aku cuma diundang ke press release untuk membuat berita. Aku gak jalan-jalan ke luar negeri, aku cuma bolak-balik ke kantor klien satu ke klien lainnya.

Maha hiruk pikuk Jakarta dengan udaranya yang sudah berwarna keabuan... di sinilah aku sekarang, dek. Jadi orang biasa di antara jutaan orang biasa lainnya. Terkadang merasa beda, tapi nyatanya aku biasa, di mana "kangen masa kuliah" "kangen masa sekolah" sedang menggedor pintuku dan menamparku bolak-balik. Rindu itu sakit. Sakit itu...kadang penuh arti.

Rinduku dalam sekali. Kukira cuma sebatas genangan air di tempat wudhu masjid, atau at least sebatas kolam renang di kantorku. Ternyata saat aku tenggelam sampai batas ubun-ubunku, kakiku belum bisa merasakan dasarnya di mana.

Rinduku serakah sekali. Ternyata sekian bagian dari diriku digerogotinya. Lantas yang tersisa untukku berjalan cuma sedikit sehingga aku tertatih-tatih mencapai garis.

Pun rinduku membutakan. Aku yang tertatih-tatih mencapai garis ini bahkan sampai tidak mengetahui garis apa yang sebenarnya ingin kuraih.

Sungguh tak tahan aku dengan rindu. Seperti penyakit otak. Namun penyakit otak ini kurangkul sepenuhnya. Kupeluk erat, kubiarkan dia mengunyahku sampai lumat segala halnya. Sakit. Tapi sakit itu...kadang penuh arti.

Rindu adalah air; ia menyiram bibit yang dahulu kutanam, yang sempat aku tak syukuri. Di masa sang Rindu menyulitkanku bernafas, ia berlarut membangun akarku.

"Nih, biar kokoh, tegak, jelas kemauan dan prinsipmu" begitu bisiknya sambil mencekikku.

Saat rindu belum mencekam, aku meragukan bibitku. Pun sempat-sempatnya memberi pengakuan kepada orang-orang bahwa "aku gak bisa gambar" "aku gak jago nulis" "artikel-artikelku jelek" "aku gak cocok soal kreatif-kreatifan". Maira kecil, maaf ya aku bisa sebodoh itu menodai artefak yang kamu buat.

Kini rindu semakin mematikan. Bibit yang ditanam itu kian lama terasa akarnya tumbuh, mungkin sedikit lagi muncul ke permukaan dengan daun pertamanya. Terlihat walau samar ke bibir pantai mana sang Rindu melabuhkanku. 

Di situ duniaku, di situ rumahku, di situlah aku jatuh cinta dengan entitas ini.

Aku jatuh cinta dengan menulis, aku jatuh cinta dengan menggambar, tak kurang juga rasa cintaku dengan ilmu yang kuturuti di empat tahun terakhir. Tidak berhubungan, namun saat aku mempertali semuanya, aku tahu mereka akan melahirkan sesuatu. Sesuatu yang berbeda, berkarakter.

Rindu membuatku sadar tentang siapa diriku, apa yang dari awal kukejar. Bila kumanjakan diriku menghindari rasa kehilangan, akan semakin keras saja pertengkaran di dalam batinku tentang "Apa yang sebenarnya aku bisa?". Tetapi di sinilah aku, tertatih digerogoti dunia di Maha hiruk pikuk Jakarta dengan udaranya yang sudah berwarna keabuan, namun kian waktu pertengkaran batin mereda sedikit demi sedikit. Pelan tapi pasti.

Aku merasa Maira kecil sedang membangun lego berbentuk Maira besar di masa depan. Penuh kebencian dan kesakitan, kadang legonya terinjak, kadang strukturnya kurang benar, kadang ditendang oleh abangnya dari belakang. Tapi semakin ia berusaha, semakin ia mengingat tekadnya menjadi seniman sukses, lantas semakin lancar dia menyusunnya. Makasih ya, Dek.

Kini aku tahu sakit kadang penuh arti. Aku lakukan ini untuk diriku, untuk seluruh fase Maira yang hidup di 21 tahun perjalanan ini. Artefak Maira kecil yang bertuliskan "ingin menjadi seniman yang sukses" akan terlihat menjadi ramalan akurat masa depan. Tapi sabar ya Dek, biar aku berjalan ke garis itu. Iya, garis itu pokoknya.

Comments

Popular Posts